Minggu, 18 Maret 2012

Fakhruddin, Fasilitator Tehnik PNPM MP Kab Bima

Pemberdayaan itu, Membuka Hati Masyarakat
 

Menjadi pelaku pemberdayaan masyarakat tak mudah. Selalu ada ujian dan kadang tak semua bisa melewatinya. Namun jika berhasil, apalagi membuka cara pandang dan pikir masyarakat dalam mencari solusi yang dihadapinya, sama halnya dengan keberhasilan membuka hati mereka.

Pandangan itu, bukan sekedar opini lepas, namun itulah yang dirasakan Fakhuriddin, Fasilitator Tehnik PNPM Kabupaten Bima. Ujian yang besar baginya, karena tak terbiasa dengan dunia pemberdayaan dan harus berhadapan dengan realitas yang tak pernah disentuh.
                “Kalau kita mau mendengar apa yang menjadi kebutuhan dan harapan mereka, kemudian diakomodir dan mencari sulusi untuk mereka saya pikir sama dengan membuka hati masyarakat,” ungkapnya.
 Tantangan awal yang dihadapinya ketika mulai berbaur dengan masyarakat adalah adanya sikap curiga. Ada pandangan, bahwa ketika mengajak masyarakat untuk berkumpul untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan lingkungannya, akan selalu ada anggaran transportasi atau uang saku. “Memang dana pendampingan sosialiasi itu minim. Makanya ketika warga diajak musyawarah di kantor desa, kurang diminati. Apalagi tidak ada uang saku atau transportasi,” ujarnya.
Dari sini, kata pria asal Sumbawa ini, munculnya keraguan masyarakat. Ada ketidakyakinan akan adanya program yang bisa didanai, karena untuk pertemuan saja anggarannya tidak ada atau minim. “Disini pulalah tantangannya, bagaimana meyakinkan masyarakat pada tahap awal masuknya PNPM. Memang untuk pertemuan sosialisasi anggaran minim, sehingga perlu membuka hati dan pikiran mereka tentang pemberdayaan masyarakat,” katanya.
Setelah tahun berikutnya, kata dia, masyarakat mulai percaya, karena kegiatan yang diprogramkan melalui penggalian gagasan (Pagas) dapat didanai. Meski tentap dengan prinsip pemberdayaan dengan pelibatan masyarakat lokal.
Mengmpulkan masyarakat saat Pagas, ungkapnya, tak mudah. Karena masyarakat di desa memiliki kesibukan bidang pertanian, sehingga perlu melihat waktu luangnya. “Untuk sosialisasi, biasanya dengan pendekatan ke kepala dusun, agar dapat membantu mengumpulkan warga,” jelasnya.
Sistim kompetisi pun mulai dibangun setelah masyarakat memahami. Dalam Pagas tidak semua kegiatan dapat didanai. Usulan tiap dusun dibawa ke desa untuk menentukan perangkingan atau skala prioritas. “Kalau mufakat sudah disepakati, maka tinggal vooting, mana yang diutamakan,” jelasnya.
Banyak yang Keluar
                Awal ketika Fakhruddin masuk ke dunia pemberdayaan, tak banyak kawan yang bertahan. Satu per satu mundur, karena tak bisa dengan sistim kerja lapangan. Apalagi bersentuhan dengan masyarakat dengan beragam karakter dan medan kerja dengan geografis yang kadang menantang.
                “Kalau saya lihat banyak yang secara mental belum siap. Komunikasi yang dibangun dengan masyarakat tidak sejalan, sehingga terjadi benturan antara pesan yang ingin disampakan dengan pola pendekatannya, sehingga mereka merasa tidak sanggup,” ujarnya.
Tapi, kata dia, ada juga yang kaluar karena persoalan non tehnis. Ada godaan lain. “Ketika teman-teman fasilitator terdesak dengan kebutuhan uang, mereka meminjam di UPK. Sementara di PNPM, jangankan ambil, pinjam saja tidak boleh. Meskipun tanpa bukti tertulis meminjam uang, namun ketika UPK membenarkan maka aka nada tindakan. Kalau diproses maka tidak ada ampun, diberhentikan atau sama dengan di PHK,” terangnya.
Masalah lain yang dihadapi pelaku dilapangan, ungkapnya, adalah kemampuan komunikasi. Cenderung mereka tidak diterima oleh masyarakat. 
Fakhruddin sendiri bergabung di dunia pemberdayaan masyarakat sejak tahun 2003. Kala itu namanya PPK. “Awalnya terlalu berat buat saya. Saya termasuk juga orang yang tidak pintar bicara. Lantas saya mencoba untuk menikmati, bergaul dengan masyarakat. Ketika apa yang disampaikan ke masyarakat dan masyarakat merasakan manfaatnya, maka kita tentu merasa senang. Setelah itu saya mencoba untuk mencintai pekerjaan ini, yakni dunia pemberdayaan. Bahwa ada masyarakat yang harus kita fasilitasi agar bisa mendapatkan program PNPM,” tuturnya mengisahkan.
Tantangan ada di Birokrasi
Jika diperusahaan, ada produk yang dihasilkan untuk dipasarkan, namun tidak demikian di dunia pemberdayaan. Produk yang dihasilkan berbeda, yakni laporan program. Bagaimana mengomunikasikan program ke masyarakat.
Kata Fakhruddin, itu bukanlah tantangan terberat baginya. Kenyataan di lapangan, tantangan terberat ada di birokrasi, khususnya birokrasi desa dan kecamatan. Yang tidak dipahami oleh birokrasi itu, bahwa di PNPM tidak ada dana pendamping untuk camat dan kepala desa. “Sehingga pertama turun ke desa dan kecamatan, selalu pertanyaan apa income buat desa dan kecamatan. Itu tidak ada dan cenderung memandang sebelah mata,” ujarnya.
“Saya bisa bertahan, karena mencoba untuk memahami. Karena kalau soal tawaran uang, pasti ada dimana-mana. Karena kadang ada tawaran untuk pekerjaan tambahan dilapangan. Kami digaji pantas, sehingga tidak perlu cari uang yang lain,” pungkasnya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar