Menjadi pelaku pemberdayaan masyarakat tak mudah. Selalu ada ujian dan
kadang tak semua bisa melewatinya. Namun jika berhasil, apalagi membuka cara
pandang dan pikir masyarakat dalam mencari solusi yang dihadapinya, sama halnya
dengan keberhasilan membuka hati mereka.
Pandangan itu, bukan sekedar
opini lepas, namun itulah yang dirasakan Fakhuriddin, Fasilitator Tehnik PNPM
Kabupaten Bima. Ujian yang besar baginya, karena tak terbiasa dengan dunia
pemberdayaan dan harus berhadapan dengan realitas yang tak pernah disentuh.
“Kalau
kita mau mendengar apa yang menjadi kebutuhan dan harapan mereka, kemudian
diakomodir dan mencari sulusi untuk mereka saya pikir sama dengan membuka hati
masyarakat,” ungkapnya.
Tantangan awal yang dihadapinya ketika mulai
berbaur dengan masyarakat adalah adanya sikap curiga. Ada pandangan, bahwa
ketika mengajak masyarakat untuk berkumpul untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan
dengan lingkungannya, akan selalu ada anggaran transportasi atau uang saku.
“Memang dana pendampingan sosialiasi itu minim. Makanya ketika warga diajak
musyawarah di kantor desa, kurang diminati. Apalagi tidak ada uang saku atau
transportasi,” ujarnya.
Dari sini, kata
pria asal Sumbawa ini, munculnya keraguan masyarakat. Ada ketidakyakinan akan
adanya program yang bisa didanai, karena untuk pertemuan saja anggarannya tidak
ada atau minim. “Disini pulalah tantangannya, bagaimana meyakinkan masyarakat
pada tahap awal masuknya PNPM. Memang untuk pertemuan sosialisasi anggaran
minim, sehingga perlu membuka hati dan pikiran mereka tentang pemberdayaan
masyarakat,” katanya.
Setelah tahun
berikutnya, kata dia, masyarakat mulai percaya, karena kegiatan yang
diprogramkan melalui penggalian gagasan (Pagas) dapat didanai. Meski tentap
dengan prinsip pemberdayaan dengan pelibatan masyarakat lokal.
Mengmpulkan
masyarakat saat Pagas, ungkapnya, tak mudah. Karena masyarakat di desa memiliki
kesibukan bidang pertanian, sehingga perlu melihat waktu luangnya. “Untuk
sosialisasi, biasanya dengan pendekatan ke kepala dusun, agar dapat membantu
mengumpulkan warga,” jelasnya.
Sistim kompetisi
pun mulai dibangun setelah masyarakat memahami. Dalam Pagas tidak semua kegiatan
dapat didanai. Usulan tiap dusun dibawa ke desa untuk menentukan perangkingan
atau skala prioritas. “Kalau mufakat sudah disepakati, maka tinggal vooting,
mana yang diutamakan,” jelasnya.
Banyak yang Keluar
Awal
ketika Fakhruddin masuk ke dunia pemberdayaan, tak banyak kawan yang bertahan.
Satu per satu mundur, karena tak bisa dengan sistim kerja lapangan. Apalagi
bersentuhan dengan masyarakat dengan beragam karakter dan medan kerja dengan
geografis yang kadang menantang.
“Kalau
saya lihat banyak yang secara mental belum siap. Komunikasi yang dibangun
dengan masyarakat tidak sejalan, sehingga terjadi benturan antara pesan yang
ingin disampakan dengan pola pendekatannya, sehingga mereka merasa tidak sanggup,”
ujarnya.
Tapi, kata dia,
ada juga yang kaluar karena persoalan non tehnis. Ada godaan lain. “Ketika
teman-teman fasilitator terdesak dengan kebutuhan uang, mereka meminjam di UPK.
Sementara di PNPM, jangankan ambil, pinjam saja tidak boleh. Meskipun tanpa
bukti tertulis meminjam uang, namun ketika UPK membenarkan maka aka nada
tindakan. Kalau diproses maka tidak ada ampun, diberhentikan atau sama dengan
di PHK,” terangnya.
Masalah lain
yang dihadapi pelaku dilapangan, ungkapnya, adalah kemampuan komunikasi.
Cenderung mereka tidak diterima oleh masyarakat.
Fakhruddin
sendiri bergabung di dunia pemberdayaan masyarakat sejak tahun 2003. Kala itu
namanya PPK. “Awalnya terlalu berat buat saya. Saya termasuk juga orang yang
tidak pintar bicara. Lantas saya mencoba untuk menikmati, bergaul dengan
masyarakat. Ketika apa yang disampaikan ke masyarakat dan masyarakat merasakan
manfaatnya, maka kita tentu merasa senang. Setelah itu saya mencoba untuk
mencintai pekerjaan ini, yakni dunia pemberdayaan. Bahwa ada masyarakat yang
harus kita fasilitasi agar bisa mendapatkan program PNPM,” tuturnya
mengisahkan.
Tantangan ada di Birokrasi
Jika diperusahaan,
ada produk yang dihasilkan untuk dipasarkan, namun tidak demikian di dunia
pemberdayaan. Produk yang dihasilkan berbeda, yakni laporan program. Bagaimana
mengomunikasikan program ke masyarakat.
Kata Fakhruddin,
itu bukanlah tantangan terberat baginya. Kenyataan di lapangan, tantangan
terberat ada di birokrasi, khususnya birokrasi desa dan kecamatan. Yang tidak
dipahami oleh birokrasi itu, bahwa di PNPM tidak ada dana pendamping untuk
camat dan kepala desa. “Sehingga pertama turun ke desa dan kecamatan, selalu
pertanyaan apa income buat desa dan kecamatan. Itu tidak ada dan cenderung
memandang sebelah mata,” ujarnya.
“Saya bisa
bertahan, karena mencoba untuk memahami. Karena kalau soal tawaran uang, pasti
ada dimana-mana. Karena kadang ada tawaran untuk pekerjaan tambahan dilapangan.
Kami digaji pantas, sehingga tidak perlu cari uang yang lain,” pungkasnya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar